CERPEN
Oleh:
Sirojul Huda
PEREMPUAN
LIMA BELAS PURNAMA
Malam masih remang. Cahaya bulan bundar
masih tetap
memancar di Bunut baok. Desa yang
cukup besar di pinggir kota praya, Lombok Tengah, Langit yang menjadi saksi bisu atas kehidupan yang
penuh semangat tanpa akhir. Juga kasih sayang para ibu-ibu
yang tak pernah tuntas kepada anaknya yang belajar mengaji setiap selesai
shalat magrib.
Pesona bukit Mungki Raya yang terbelah
menjadi dua bayangan. Sekelompok
kelelawar yang melintas, serupa bayangan yang tak jelas mengitari pepohonan di
kebun milik para petani di Bunut baok, begitu banyak cerita di sana. Mulai dari begobok hingga senandung jangkrik yang membuat anak-anak desa tetangga berhamburan di desa saya, berpendar cahaya senter-senter kecil, kemudian
jinjitan kaki seperti lintah yang akan menerkam mangsanya. Belum
lagi dengan sorak sorai anak anak yang baru pulang mengaji dari surau kecil di
bawah pohon beringin yang besar di ujung desa. Dan ceritanya akan lebih panjang jika bertanya pada Nenek Sarah penjaga surau kecil itu.
Mitos yang ada di desa itu, akan ada suara
tangisan setiap purnama tanggal 15, dimana desa itu bermandikan cahaya. Dan nen
ek Sara
h akan menyediakan sesajen yang di kumpulkan dari
warga sekitar untuk di tempatkan di bawah pohon beringin yang nantinya akan menghilang
dengan tiba tiba. Isinya hanya beras yang di taruh di atas panci berukuran
sedang, ayam yang sudah di bakar, kunyit, daun lekok,
buak,
uang logam, dan beberapa lembar uang kertas lima ribuan, lalu membakar
kemenyan. nenek
sara
h selalu melakukan ritual itu dengan
rutin.
"Yang membangun surau ini adalah sepasang suami istri yang saling menyayangi,
tapi mereka tak pernah di karuniai anak sepanjang hayat mereka. Suatu saat,
ketika hendak melakukan shalat subuh, warga sekitar menemukan mereka dalam
keadaan tak bernyawa. Tak ada satupun warga yang mengetahui penyebab kematian
mereka." Cerita nenek panjang lebar pada mery. Murid yang satu-satunya belajar mengaji padanya hingga sekarang.
Malam ini tepat tanggal 15 bulan purnama.
Bulan di langit Desa semakin congkak dengan sinarnya, angin berhembus menerbangkan dedaunan kering di
halaman surau. Nenek Sarah terduduk di tangga surau yang hanya tiga
biji dan lebarnya satu meter, itu saja. Nenek masih melamun, dedaunan kering yang tertiup angin
seakan berbisik, entah menggunakan bahasa apa, yang jelas manusia tidak akan mengerti meski seperti suara
bisikan. Hingga mery
menegurnya.
"Nenek ngelamunin apaan, sih?" Nenek sarah hanya membalasnya dengan muka masam."Nenek....!" ketus gadis kecil berjilbab itu. Mungkin ia kesal dengan jawaban Nenek yang hanya dengan muka masam.
Mery masih berdiri di depan pohon beringin dan
memandanginya keatas lalu kebawah. Ia seperti bercakap antara sesama batin.
Apakah pohon memiliki batin ?. Tapi Mery masih melakukannya. Matanya berkaca kaca, entah bagaimana Mery mampu bertingkah sejauh itu.
"Mery, Nenek tidak akan
menaruh sesajen di sana lagi, sebab itu bukan teradisi yang baik, dan tidak di perbolehkan
oleh agama". Nenek
menjelaskan.
Seakan perasaan yang tak ada gunanya lagi.
Seorang tua yang sudah bosan dengan pekerjaan rutinnya. Malam terus beranjak.
Purnama yang melingkar di langit Desa itu tampak redup dengan kepulan awan yang pelan pelan menebal. Bagaimanakah
perasaan seonggok pohon tua itu, ketika tak ada sesajen dan bau kemenyan
semenjak beberapa bulan terakhir. Mery di kabarkan menghilang. Suara tangisan terus menerus terdengar setiap
malam tanggal 15 bulan purnama. Anak anak di desa itu semakin hari semakin tak ada yang mengaji. Nenek Sarah hanya mampu merasakan kejenuhan yang entah
seperti apa. Mungkin ia menyesali tingkahnya sendiri, sehingga malam malamnya
ia habiskan dengan shalat sunnat dan do'a. Dan pudarnya teradisi mencari
jangkrik dan bebobok. Desa bunut baok seperti sebuah tempat yang tak berpenghuni ketika malam tanggal 15. Bukan
itu saja. Bahkan hampir setiap malamnya. Namun purnama begitu indah memancarkan
cahayanya. Pemandangan yang bisa dibawa ceritanya hingga ke penjuru kota
sekalipun, dan orang akan menganggap seseorang bermimpi jika menceritakan hal
itu.
Di bunut
baok. Desa yang cukup besar yang masih di selimuti kabut tipis jika
sore turun. Seorang anak kecil terduduk memangku tangannya di tangga surau menunggu
kedatangan nenek sarah. Senja belum berakhir. Nenek sarah juga belum datang. Ia hanya duduk, duduk saja,
hanya itu. Sampai akhirnya terlihat dari kejauhan sosok seorang Nenek berjalan ke arahnya. Dan guratan guratan senyum
mulai terlihat di wajah gadis kecil itu. Namaya Asfar, murid baru Nenek Sarah.
"Nenek...!!!". Teriak Asfar riang.
Sementara jam terpojok ke angka enam. Azan
belum juga dikumandangkan. Burung burung terbang ke sarang masing masing
setelah seharian mencari makan. Warna langit yang kemerah merahan dan awan
tipis yang saling tindih. Begitu indah pemandangan sore di Desa bunut
baok. Beberapa saat kemudian
terdengar suara azan dari corong yang berada di puncak masjid. Yang selalu di
kumandangkan setiap tiba waktu shalat. Dan berakhir. Menandakan shalat sudah
bisa di kerjakan. Sementara Asfar berdiri di belakang Nenek sarah mengenakan mukna berwarna putih biru, warna kesukaannya. Sebentar
merunduk, lalu sujud, kemudian berdiri lagi. Itu saja. Sampai keduanya menengok ke kanan dan kiri hampir bersamaan. Kemudian
mereka menengadahkan tangan mereka dan bermunajat kepada Allah, entah apa do’a
mereka. Dan berakhir.
"Nenek, pulang mengajinya agak pagian, begitu pesan
ibu". Asfar mengawali pembicaraan.
"Kalau begitu, pulanglah
segera".
"Tapi Asfar belum belajar
mengaji".
"Pulanglah, meskipun begitu".
"Tapi ini sudah gelap, aku tidak
berani pulang sendiri".
"Jam delapan akan terdengar tangisan
dari balik pohon, dan aku tidak ingin kamu mendengarnya".
Tangisan lagi. Seperti cerita yang luar
biasa menakjubkan. Tangisan yang membuat anak anak Desa tak lagi belajar mengaji. Tetapi asfar dan kakek masih mengaji. Suara tangisan
belum juga terdengar. Hanya desir angin yang menyapu dedaunan kering di halaman
surau. Tiba tiba terdengar suara perempuan.
"Assalamualaikum".
"waalaikumussalam". Jawab Nenek.
"Nek, ini Aton bawakan makanan buat nenek". Ujar perempuan itu sambil
menaiki tangga lalu duduk di dekat mereka.
"Wah..., jadi ngerepotin. Terimakasih
banyak". Dengan muka kemerah merahan.
"Iya,
sama sama, ini malam pertama Asfar mengaji. Mulanya saya yang pesan Asfar untuk
pulang mengajinya dipercepat.
Tapi tidak enak saja rasanya jika membiarkan ia pulang sendirian".
Tak lama berselang tiba tiba kakek
merasakan hal yang aneh. Dan ini adalah yang biasa terjadi padanya. Tidak
dengan Asfar dan ibunya. Angin menyapu dedaunan kering di halaman, dan
suara tangisan perempuan dari balik
pohon terdengar lagi. Membuat mereka ketakutan. Tapi tidak bagi Nenek Sarah. Ia seakan memiliki kekuatan magis yang sanggup
menaklukan seantereo penjuru kota sekalipun. Nenekk sarah terus berusaha menenangkan mereka. Tak ada sedikitpun tergambar kepanikan
diwajah Nenek sarah.Tangisan asfar meledak. Air matanya tak
mampu terbendung oleh kelopak kecil mata yang indah itu.
"Tenaglah,
ini sudah biasa terjadi setiap bulan purnama, nanti berhenti sendiri".
Sambung Nenek Sarah. Air mata Asfar tak berhenti mengucur. Tangannya
semakin erat mendekap tubuh ibunya.
"Tenanglah, nak. Tidak perlu takut.
Yang perlu kita takuti hanyalah Allah saja, tidak ada yang lain". Ibunya
mencoba menenangkan Asfar, padahal ia juga begitu takut.
Akhirnya nenek Sarah memberanikan diri untuk turun dari surau dan melihat secara langsung sumber tangisan itu. Perlahan
ia mulai mendekati pohon beringin. Sesekali mengintip, lalu menutup mata. Dan
mengintip lagi.
"Hati-hati, Nek..!". Teriak Asfar dari dalam surau. Nenek menganggukan kepala tanda merespon. Sementara
warga desa tak satupun terlihat
keluar rumah, mereka lebih
memilih berdiam diri dalam rumah dan membesarkan volume tv untuk mensiasati suara yang sangat
menakutkan itu. Kejadian inilah yang membuat desa Bunut baok seperti tak memiliki penghuni, menjadikannya
seperti kota mati, padahal masih jam delapan tiga puluh. Dan tak sedikitpun Asfar
mengetahui tentang tangisan misterius itu.
Nenek Sarah terus berjalan pelan ke arah belakang pohon. Dan ia mendapati sesosok
perempuan terduduk menekuk lututnya. Wajahnya belum jelas terlihat. Perempuan
itu masih merunduk dan menangis. Ia hanya mengenakan sarung batik dan baju
perempuan biasa, itu saja.
"Hei, siapa kamu...!". Nenek menegur.
"Kenapa kamu menangis?". Nenek kembali bertanya setelah lama tak
mendapatkan jawaban. Tiba tiba perempuan itu membalikkan wajahnya ke arah Nenek Sarah.
"Nek, malam ini tepat lima belas purnama". Ujar
perempuan itu tersedu.
"mery....!?". Nenek terkejut. Rupanya Nenek mengenal perempuan itu.
Perempuan yang teramat ia sayangi,
perempuan yang selalu menemaninya melakukan ritual lima belas purnama di bawah
pohon beringin. Begitu mereka menyebutnya.
"Kenapa kamu bisa seperti ini, Mery?". Tanya kakek lirih.
"Ini semua gara gara nenek!". Mery menyalahkan.
"Nenek tidak pernah lagi menaruh sesajen, jadi Mery tidak bisa memberi warga miskin di ujung
desa sana". Sambung Mery kesal.
"Jadi, sesajen yang selama ini kita
taruh, mery yang ambil?,
lantas Mery sedekahkan pada
warga miskin di ujung desa?". Nenek memastikan.
"Iya". Ketus Mery.
"Astagfirullahaladzim....., itu bukan
cara yang baik. Nenek juga
sadar, menaruh sesajen di bawah pohon seperti itu juga tidak di bolehkan agama.
Itu sama saja dengan menyekutukan Allah. Syirik itu".
Malam masih remang dengan desir angin yang
menyapu dedaunan di halaman surau. Mery
sudah beranjak dewasa, yang dulu kecil dan sering membantu menyiapkan
sesajen dan tidak lagi melakukan hal itu. Malam-malam
di Desa bunut baok
telah pulih kembali, tak ada lagi tangisan di
bawah pohon. Yang ada hanya sorak sorai anak-
anak yang baru pulang mengaji dari surau itu.
Teradisi mencari jangkrik dan maen maen kaleng[3] terus meramaikan malam di desa itu. Dan
malam ini desa itu kembali bermandi cahaya bulan bundar dari langit. Malam
seakan menjadi pemandangan paling indah dalam hidup. Nenek sarah tetap ikhlas
mengajar mengaji
di surau dan
tetap bertahan, karna tanpa Nenek sarah takkan ada cerita.
"jadilah diri anda sendiri, tetap ikhlas dan
istiqomah”.
Nama : Sirojul Huda
Komisariat : Fisi
Judul cerpen : Perempuan limabelas
purnama